Pendakian Gunung Merbabu, 18 s.d 20 Juli 2009

Beberapa Minggu Sebelumnya…

Sangat mengejutkan ketika mendengar kabar bahwa Haries, teman satu tim di kantor, telah mengundurkan diri. Satu hal yang langsung mengusik pikiran saya, rencana ke Kerinci Juli nanti bakal terancam dan kekuatiran itu tidak meleset sedikitpun, sayangnya.

Persiapan Perjalanan pendakian gunung merbabu…

Memesan tiket kereta 2 minggu sebelum keberangkatan menurutku bukanlah ide buruk, tetapi kalau keberangkatan nantinya pada hari libur panjang, itu baru jadi ide buruk. Dulu sudah pernah pengalaman beli tiket calo, kali ini pengen coba tiket no-seat, hasilnya menjadi perjalanan panjang yang tidak nyaman dan mengecewakan, mendapat layanan tidur di lantai gerbong beralaskan koran, tentu saja dengan membayar harga tiket yang sama.

pendakian gunung merbabu

pendakian gunung merbabu

Jakarta – Jogja…

Kereta Argo Lawu yang saya tumpangi sampai di stasiun Tugu Jogja sekitar dini hari, sepagi itu sudah banyak penumpang yang menunggu di stasiun, entah itu hendak berangkat atau baru tiba seperti saya. Setelah duduk menunggu sebentar, dengan menumpang TransJogja saya lanjutkan perjalanan menuju stasiun bis Magelang, di sana saya akan bertemu dengan sepasang teman pendakian kali ini, Anno dan Rita.

Perjalanan dari Jogja ke Magelang cukup menyenangkan, bis tujuan Semarang ini melaju kencang di atas jalan lintas yang mulus dan lurus, sesekali berhenti untuk menaik turunkan penumpang. Anak sekolah, para pekerja dan pelancong adalah sebagian penumpang yang menjadi teman perjalanan ini, jendela yang sedikit terbuka membiarkan angin dingin menerpa wajah dan tubuh yang tak seberapa. Sosok Gunung Sundoro Sumbing di sisi kiri perjalanan terlihat begitu besar, kekar dan tentu saja… gersang, suatu saat nanti janjiku dalam hati.

Hari masih pagi ketika saya sampai di Magelang, sebagai pengidap sakit maag tentu saja satu hal yang wajib di pagi hari adalah sarapan secukupnya dan menunggu… menunggu… dan menunggu… Ternyata bis yang ditumpangi Anno dan Rita dari Bekasi mengalami keterlambatan sampai beberapa jam, setelah melengkapi logistik yang kurang, kamipun melanjutkan perjalanan.

Tujuan selanjutnya Kaponan, ditempuh relatif singkat dengan angkutan bis tanggung tujuan Salatiga, kami berhenti tepat di depan gapura wanawisata di pinggir jalan menuju desa Wekas, basecamp pendakian gunung Merbabu. Ada dua pilihan menuju basecamp dari pinggir jalan besar ini, cara mudah dengan menumpang ojek, sekitar 15 menit perjalanan menanjak, atau cara yang lebih menantang dengan berjalan kaki, mungkin sekitar 1 jam lebih. Tidak banyak logistik yang bisa dilengkapi di sini, namun mendapatkan air sangatlah mudah.

Pendakian, Basecamp Wekas – Pos 2…

Kebetulan sekali Rita mengenal salah satu keluarga yang ada di sekitar basecamp, Mas Marmin begitu panggilannya, rumahnya tidak jauh dari basecamp Wekas yang biasa disinggahi para pendaki. Pada umumnya bangunan di desa Wekas ini sudah permanen, namun masih berlantaikan tanah… Para penduduk di sini kebanyakan bekerja di ladang dan ketika sore menjelang kembali ke rumah tanpa harus memikirkan segala macam persoalan yang biasa dialami di tengah hiruk pikuknya kota besar. Kelihatannya hanya kami yang hendak mendaki, tidak terlihat pendaki lain di sini, selepas tengah hari kamipun memulai perjalanan ini.

Jalan menanjak dan berdebu menemani perjalanan kami, saya jadi teringat di Arjuno tahun lalu jalanannya juga berdebu seperti ini, hanya saja debu di gunung merbabu tidak setebal di Arjuno. Hutan pinus yang kering dan berjamur kulit merah merupakan pemandangan baru bagi saya, batang-batang pinus itu seperti di cat merah, memberikan suasana lain perjalanan kali ini. Selain itu pipa air penduduk juga selalu menemani perjalanan menanjak yang tidak ada landainya, kemungkinan pasokan air ke Wekas tergantung pada pipa air ini.

Menurut catatan yang saya baca, perlu waktu 2 jam menuju pos 1 dan 2 jam lagi ke pos 2, kami sudah berjalan hampir 4 jam namun belum menemukan yang namanya pos 1 ataupun pos 2. Sambil berjalan saya masih menyempatkan diri untuk mengambil momen sejenak memotret lingkungan dan binatang yang kelihatan, seperti beberapa jenis burung dan monyet, namun sangat sulit karena selain jauh mereka juga bergerak amat cepat.

Ternyata Pos 2 yang dinanti tidak jauh lagi, yang pertama sekali menarik perhatian adalah sumber air, begitu lega melihat sumber air yang berlimpah, selain itu bahu merbabu yang memanjang berdiri seperti dinding raksasa yang siap sedia menantang apapun yang ingin melewatinya, juga seperti mengundang dan menggoda keinginan pendaki untuk menggapainya. Pos 2 adalah tempat terbuka dan datar dengan kontur lembah jurang, dapat menampung belasan tenda, tempat yang bagus untuk menginap dan juga tempat yang dingin berangin.

Jalur ke Air Terjun dan Helipad…

Keesokan paginya perjalanan lanjut lagi, target hari ini adalah puncak. Sayangnya karena kurang informasi dan pencabangan jalur yang ada, kami malah salah jalur hingga ke air terjun. Di sini kami putuskan untuk kembali lagi, kami juga bertemu para pendaki nekat yang salah jalur seperti kami namun tetap memilih  melanjutkan naik dengan memanjat bebatuan ke arah puncak yang memang kelihatan sudah dekat, jalur ini curam dan rapuh, para pendaki ini berjumlah sekitar 9 orang tanpa membawa bekal apapun, terkecuali seorang membawa ransel kecil yang kelihatan tidak tidak berisi apa-apa.

Kembali lagi ke pos 2, jalur yang benar membawa kami hingga pertigaan dengan jalur utama dari kopeng, waktu tempuh sekitar 2 jam. Lokasi ini tepat pada bahu gunung yang pemandangannya spektakuler, bombastis, fantastis. Tidak jauh terlihat monyet berlarian dan bergelantungan di ranting pohon untuk kemudian menghilang di sisi lain dinding merbabu yang melingkar.

Kami istirahat sebentar, saat itu hampir jam 3 siang, ada beberapa pendaki yang lewat untuk meneruskan perjalanan ke puncak, ada juga yang turun. Kami sempat menanyakan apakah mereka melihat satu rombongan yang naik dari air terjun tadi. Ternyata musibah hampir menimpa mereka, karena kelelahan dan tidak membawa perbekalan sedikitpun mereka hampir salah jalur lagi yang akan berujung ke daerah antah berantah, menurut pendaki yang turun tersebut, kalau tidak ketemu mereka dan mengarahkan ke jalur yang benar, ada harapan tim sar harus dikerahkan di gunung Merbabu beberapa hari kedepan. Kami masih sempat ketemu dengan pendaki nekat tersebut, perasaan lega jelas terlihat di wajah mereka yang sudah kelelahan dan dehidrasi karena tidak menemukan sumber air.

Dari pertigaan tersebut menuju helipad tidaklah jauh, mungkin sekitar 30 menit. Pada jalur di bawah helipad akan ada persimpangan empat yang menurun dan membawa kita ke sumber air dari pipa penduduk. Airnyanya jernih, segar dan tidak mengandung belerang. Sampai di sini terbukti jalur Wekas Merbabu tidak sulit air.

Bermalam di helipad adalah ide bagus, pemandangannya indah, tempatnya datar, serta tidak jauh dari puncak, hebatnya lagi angin tidak berhembus kencang di sini, mungkin karena kontur helipad yang aerodinamis sehingga melewatkan angin ke atas dan tidak sampai menyentuh tenda pendaki.

Tidak berapa lama setelah tenda kami berdiri, sampailah beberapa pendaki dari Jakarta yang juga memilih menginap di helipad, kami sempat ngobrol sebentar dan memutuskan untuk bersama-sama ke puncak esok pagi.

Menuju Puncak Kenteng Songo…

Perjalanan ke puncak Kenteng Songo walaupun kelihatan dekat, namun harus ditempuh selama 2 jam. Wajar mengingat medan yang turun naik dengan tanjakan terjal kombinasi berbatu dan tanah berdebu. Pemandangan di bahu tertinggi merbabu sangat indah, di sini baru di rasakan kencangnya angin bertiup karena tidak dihalangi apapun lagi. Jalan setapak yang sempit dengan jurang di kanan-kiri perlu dilalui dengan waspada, kalau tidak hati-hati dengan angin yang kencang bisa mendorong pendaki tergelincir ke jurang.

Menurut saya bagian terberatnya adalah beberapa puluh meter menjelang puncak, sangat menguras stamina karena harus melalui tanjakan tanah yang kemiringannya mungkin lebih dari 50 derjat dan rata tanpa pijakan, apalagi jalan yang dilalui merupakan tanah berdebu yang licin, terkadang saya kehilangan kepercayaan diri untuk menginjakkan kaki melangkah naik, namun trekking pole sangat berfungsi di sini sebagai kaki tambahan.

Sesampainya di puncak, yang pertama kali mencuri perhatian adalah sosok gunung Merapi di arah selatan, terlihat sangat jelas, pemandangan ini dihiasi jalur turun lewat Selo yang memanjang ke arah kaki Merapi. Pada punggungan sebelah barat kelihatan ada beberapa tenda, pasti semalam mereka ngecamp di puncak, ngga kebayang angin dan dinginnya gimana.

Turun…

Perjalanan turun tidak memakan waktu yang lama, hanya saja perlu di ambil perhatian tersendiri, cuaca di area terbuka puncak merbabu sangat panas dan kering, ada baiknya mempersiapkan pelindung kulit agar tidak terkena matahari secara langsung, mungkin itu juga alasannya mengapa banyak yang memilih mendaki pada malam hari. Bila perlu siapkan juga masker untuk menjaga pernafasan dari debu yang tebal dan ngebul jika diinjak. Merbabu, itu artinya debu.

Secara umum mendaki gunung merbabu sangat mengasikkan, trek yang menantang, pemandangan yang indah, di sekitaran puncak banyak tempat ngecamp, serta sumber air yang tersedia di sepanjang jalur adalah alasan kuat yang sulit untuk ditolak. Kalau anda ada waktu luang, sempatkan mendaki Merbabu.

 

This entry was posted in my life, outdoor. Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *