Mati Sendirian di Puncak Dunia

Terjemahan oleh : Ambar Briastuti 

Salam teman2,

Saya membaca artikel ini sekitar seminggu yang lalu di sebuah majalah mingguan di UK (terbit 24/09/06). Saya berpikir bahwa banyak sekali pesan moral dari cerita ini.
Ceritanya agak panjang tapi membahas tentang kontroversi kematian David Sharp di Everest tahun ini (May 2006). Di dunia mountaineering kematiannya begitu diperdebatkan karena sepertinya ia ditinggalkan begitu saja. Namun dari artikel ini akan digambarkan kondisi dalam pendakian yang terkadang harus membuat keputusan yang berat.
Mohon maaf kalau dalam kelanjutan artikel ini ada bagian-bagian yang kurang berkenan. Jadi kalau memang ngg tahan ya jangan dibaca deh…

Selamat baca.
Ambar

Mati Sendirian di Puncak Dunia
by Peter Gilman, The Sunday Times Magazine 24 Sept 2006

Seorang pendaki Inggris David Sharp mengalami kematian secara perlahan di atas Everest pada bulan Mei lalu. Ketika ia terbaring menuju maut, sekitar 40 orang pendaki berjalan melewatinya. Benarkah ambisi untuk menaklukan puncak dunia telah menghilangkan sisi kemanusiaan? Peter Gillman dari The Sunday Time Magazine mencoba investigasi.

Beberapa hari sebelum Natal tahun lalu, David Sharp mengirimkan email kepada kawan pendakinya di Kathmandu sembari berucap,"Aku merasa bodoh dengan mencoba mendaki Everest untuk terakhir kalinya." Kawannya itu, seorang dari New Zealand Jamie McGuiness pernah bersama dengan Sharp ketika ia gagal menaklukan Everest di tahun 2003. Sharp mengalami kegagalan kembali di tahun 2004 sembari bersumpah tidak akan mencoba lagi. Namun Mc Guiness tidak terkejut ketika Sharp menyatakan ingin kembali mencoba untuk ketiga kalinya: "David tahu ia bisa melakukannya, tapi ia harus bisa membuktikan." Kawan pendaki lainnya, Richard Dougan, mengatakan bahwa setiap kali menyebut Everest David "merasakan semangat itu di matanya."

Bagi Sharp melakukan tiga kali percobaan pendakian adalah gabungan dari dua hal yakni godaan yang besar dari gunung tertinggi di dunia juga sikap keras kepala yang ditunjukkan oleh Sharp sendiri tanpa memperhitungkan frosbite yang harus mengorbankan beberapa jari kaki di tahun 2003. Pada bulan Mei, Sharp yang berusia 34 tahun harus membayar dengan sangat mahal. Ia diketahui secara pasti berhasil mencapai puncak. Namun dalam perjalanan turun ia meninggal karena kedinginan, kecapaian dan kehabisan oksigen di sebuah tempat perlindungan batu disela sisi northeast gunung Everest.

Ada banyak kematian yang terjadi di Everest –hingga perhitungan akhir mencapai 200 orang namun kematian David Sharp adalah yang paling banyak menarik perhatian publik. Sekitar 40 orang pendaki yang mencoba mencapai puncak melalui sisi north side dari Everest pada hari itu melewati Sharp selama naik dan turun, berjalan menapaki rute tak jauh dari tubuhnya. Sebuah tempat yang tidak nyaman untuk mati, diterjang angin kencang dan udara dingin dengan view yang monumental dari sisi northwest. Peristiwa meninggalnya Sharp ini sungguh merisaukan banyak pihak. Para pendaki menggambarkan bagaimana tangan dan bahunya mengalami deformasi karena frostbite; bagaiman ia diminta beranjak dan ketidakmampuannya untuk berdiri hingga akhirnya ditinggalkan mati sendirian.

Kematian Sharp meninggalkan perdebatan yang tajam di dunia pendakian dan pers internasional. Pendaki legendaris seperti Sir Edmund Hillary mengeluhkan  perilaku pendaki2 ini. Sekitar 40 orang pendaki dituduh telah menempatkan ambisi pribadi untuk menaklukan puncak gunung sebagai prioritas ketimbang menyelamatkan nyawa Sharp. Mereka ini adalah para pendaki dari negara seperti, Australia, New Zealand, Lebanon, Turki dan USA. Wawancara intensif dengan para pendaki itu ternyata memberikan gambaran peristiwa yang lebih kompleks dari sekedar tuduhan yang dialamatkan pada mereka.

Dari hiruk pikuk perdebatan ini hanya satu pihak yang tetap diam. Mereka adalah keluarga David –ayah ibunya yang berusia sekitar enampuluhan dan adik laki-lakinya bernama Paul yang bertindak sebagai juru bicara keluarga. Dari keterangan kawan-kawannya, David adalah sebuah karakter anak muda yang dekat dengan orangtua. Ia sangat suka tantangan baru dan juga seorang penyendiri yang percaya pada keputusan yang dibuatnya.

Namun ada beberapa kontradiksi pula pada dirinya. Sebagai seorang ilmuwan yang dianugerahi kemampuan analitis David membiarkan godaan untuk mendaki Everset kembali. Apakah ini bagian dari karakter seorang pendaki? Apa sih yang harus ditanyakan seorang pendaki pada dirinya sendiri? Untuk pertanyan-pertanyaan ini mungkin kita tambahkan satu lagi : apakah memang Sharp sudah dibutakan mata pada realitas sehingga mengambil resiko terlalu besar ?

David Sharp lahir di kota kecil Harpenden di UK dimana ayahnya bekerja sebagai seorang analis pada perusahaan kimia; sedang ibunya adalah seorang asisten laborat. Karena pekerjaannya ayah David membawa keluarga ini tinggal di northeast England dimana David bersekolah di Guisborough's Lawrence Jackson School dan Prior Pursglove College. Guru Fisika-nya, Steve Honeysett teringat David sebagai salah satu dari siswanya yang paling cerdas. "Ia sangat individualist walaupun untuk seusia dia. Ia cepat berpikir, dengan cara pemikiran yang sistematis."

Di Notingham University di tahun 1993 David Sharp mendapatkan gelar insinyur mesin-nya. Ia juga mulai melakukan climbing. Dengan tubuh atletis setinggi 6ft (183cm), membuat ia adalah sosok ideal dengan kombinasi tubuh yang ringan dan jangkauan yang panjang. Ia  melatih kemampuan climbing di Lake District dan juga pada bentukan dinding di dekat rumahnya.

Kawan dekat Sharp suka menyebutnya sebagai `rocket scientist'. Dan itu memang mendekati kenyataan ketika Sharp mendapatkan pekerjaan di Dept Pertahanan dengan spesialisasi target system. Ia juga makin mengasah kemampuan climbingnya. Di tahun 2001 ia bergabung dengan ekspedisi komersial menuju Gasherbrum II dengan ketinggian 8,035m adalah puncak 13 tertinggi di Himalaya. Henry Todd yang saat itu memimpin ekspedisi teringat David adalah pribadi yang "pemalu, tidak terlalu suka bergaul dengan sesama, lebih sebagai seorang penyendiri". Ekspedisi itu tertahan oleh cuaca yang buruk dan turun kembali dari ketinggian 7,700m. Todd agak meragukan kemampuan David dalam climbing. Walaupun bersemangat namun "ia bukanlah seorang climber yang memikirkan keselamatan dan bukan pembuat keputusan yang baik."

Sharp kembali ke Himalaya di tahun 2002, kali ini ia ingin menaklukan Cho Oyu dengan tinggi 8,201m yang terletak tak jauh dari Mt Everest. Ia bergabung dengan grup komersial Project Himalaya yang dipimpin oleh Jamie McGuiness, seorang pendaki dan guide dari New Zealand yang mengingat David sebagai,"sangat kurus dan tegap tapi mempunyai kekuatan di ketinggian". Sebuah tim dari Northern Irlandia yang juga sama-sama mencoba menaklukan Cho Oyu memberikan keterangan yang berbeda dari Todd yakni "sangat menyenangkan, bersahabat, dan cerdas," kata Richard Doughan. Doughan yang berpidato pada saat perayaan memorial di Guisborough bulan Juli lalu menambahkan, " David menyukai tantangan. Ia mendaki gunung untuk menemukan tujuan dan keinginannya." Doughan juga sepakat bahwa Sharp cenderung penyendiri. Walaupun ia gampang ditemani dengan cerita2 travelling namun hampir semua orang menyatakan ia adalah "tipe seorang yang selalu mengambil langkah ke belakang sehingga tak banyak orang yang tahu tentang pribadinya."

Sharp berhasil mencapai puncak Cho Oyu dengan McGuiness. Namun bagi Dougan dan tim Irlandia ini adalah kesusksesan yang pahit ; satu dari tim pendakinya meninggal jatuh di crevasse. Dougan sebelumnya telah berencana untuk mencoba Everest dengan kawannya yang meninggal itu. Lantas ia mengundang Sharp untuk mengambil tempat sebagai pengganti. Sharp menerima tawaran itu.

Tiba di Everest April 2003, Sharp dan tim berusaha menuju puncak dari sisi utara, menghabiskan banyak waktu untuk mendapatkan "jendela cuaca' di akhir bulan Mei yang biasanya memberikan peluang terbaik. Sharp dan Dougan adalah pasangan yang paling fit yang berusaha mencapai puncak. Namun mereka harus melalui awal yang tak mengenakkan ketika mencapai sisi northeast, sebuah lokasi yang menjadi pekuburan paling dikenal di Everest. Di tahun 1996 seorang pendaki India yang berusaha turun setelah melalui badai meninggal di cerukan batu tepat disamping jalur pendakian. Mayatnya yang dikenali dengan sepatu boot warna hijau tetap berada di tempat itu hingga saat ini. "Anda bisa melihatnya tiap detail," Dougan menggambarkan mayat itu. Ini adalah salah satu mayat dari sekian puluh yang berserakan di Everest, ditinggalkan karena tidak mungkin untuk membawa turun.

Dougan teringat betapa berat untuk keluar dari deretan batuan di northeast. Sharp terlihat "kuat dan waspada, dan  menguasai keadaan". Tapi saat itu Everest begitu dingin dan Sharp mulai mengalami frostbite di pipi dan hidungnya. Ia juga mengalami masalah dengan tabung oksigen. Di tengah perjalanan antara dua tempat yakni First Step dan Second Step, Sharp memutuskan untuk kembali. Tak urung ia malah meminta Dougan untuk mencoba sendirian, tapi ia juga segera menyerah. Ketika Sharp membuka sepatu boots-nya malam itu, ia nampak menyesal melihat tanda-tanda frostbite di kakinya. Akhirnya ia harus kehilangan jempol kaki dan setengah dari jari kaki kecil lainnya. "Ia tidak pernah mengeluh tentang kehilangan jempol –ia nampak bisa menerima kenyataan," begitu Dougan menambahkan.

Sembari mengusir sepi selama ekspedisi, Sharp juga berbicara tentang apa yang akan dilakukan selanjutnya. Ia mengatakan pada Dougan bahwa ia ingin menjadi seorang guru. Dougan yang bekerja di adventure centre di Northern Ireland berujar tentang "bekerja dengan anak-anak adalah hal yang menyenangkan –sesuatu yang mungkin mempengaruhi Sharp."

Keinginan Sharp untuk mendaki Everest tetap tak terpatahkan. Ia kembali setahun kemudian, bergabung dengan sebuah grup dari Perancis-Austria mencoba dari sisi utara. Team leader Hugues d'Aubarade menyebut Sharp,"orang yang betul-betul independen". Walau begitu ia cukup terkesima ketika Sharp mengumumkan dua keputusan penting. Ia akan mendaki Everest sendirian dan melakukannya tanpa tabung oksigen. Climbing solo atau sendirian  akan membuat resiko makin besar karena seorang pendaki tidak punya partner untuk berbagi keputusan atau mengharapkan bantuan dikala kesulitan datang. Climbing tanpa oksigen akan makin memperburuk situasi karena hanya 1 dari 10 orang yang berhasil ke puncak Everest adalah tanpa menggunakan tabung oksigen. Bagi pendaki yang tidak menggunakan tabung oksigen hampir semua berdasar pada masalah etis. Mereka menyebut mendaki dengan bantuan oksigen adalah bentuk kecurangan –pandangan yang sepenuhnya disetujui oleh Sharp. "Aku ini salah seorang yang ngg waras yang tidak menyetujui penggunaan peralatan oksigen," begitu ia menulis email kepada kawan pendaki dari Australia Tony Bragg."Filosofi-ku adalah jika kamu ingin oksigen yang lebih banyak, maka naiklah ke puncak gunung yang lebih rendah."

D'Aubarede teringat ketika Sharp "mempertahankan idenya itu dengan sungguh-sungguh". Namun Sharp menolak sarannya untuk melakukan aklimatisasi dengan naik turun secara berkala hingga base camp ketimbang menghabiskan banyak waktu di ketinggian. Sharp, ujarnya adalah sebuah "enigma yang mengesankan menarik diri dari realitas dan seperti hidup di dunia lain."

Ketika pendakian, Sharp bersama d'Aubarede dan tiga kawannya, ia terlihat jauh tertinggal. Saat D'Aubarede berhasil mencapai puncak, Sharp kembali turun dari First Step. Sharp tetap memandang positif atas kegagalannya dalam sebuah email kepada Bragg. "Saat itu kami mendaki dengan tangguh." Ia menambahkan "Aku kira tak akan kembali lagi ke si besar E (Everest) dengan O2 dan cuaca baik. Aku tanpa ragu akan bisa sampai ke puncak walau tantangan yang sesungguhnya tidak kutemui disana." Pernyataan Sharp ini berbeda dengan yang diberikan kepada d'Aubarede."Ia berkata bahwa akan kembali ke Everest karena ia ingin mendaki hingga puncak."

Setahun kemudian, Sharp mengundurkan diri dari pekerjaannya di Departemen Pertahanan dan mengambil pendidikan untuk menjadi guru di Nottingham. Ia kemudian melakukan `globetrotting' travelling secara intesif di Amerika Selatan dan Asia. Tapi Everest terus saja mengganggunya dan sesaat sebelum hari Natal ia mengirim email kepada McGuiness untuk mengumumkan upaya terakhirnya.

Sharp juga menambahkan beberapa detail penting lain : ia memutuskan untuk bergabung dengan perusahaan dari Kathmandu bernama Asian Trekking. Perusahaan ini dikenal menawarkan calon pendaki Everest dengan tarip sekitar $7,000 hingga $8,000 untuk pelayanan dasar seperti peralatan oksigen, makanan, tempat di base camp, dan permit dari pemerintah China. Perusahaan klas atas biasanya meminta $40,000 bahkan lebih untuk makanan berkualitas baik, guide yang professional, tali yang telah dipasang sepanjang rute untuk meningkatkan keamanan, dan para sherpa menemani para klien hingga ke puncak dan kembali. McGuiness mengelola Project Himalaya yang menawarkan tarip menengah yakni $22,000. Ketika mendengar rencana Sharp, ia menawarkan membayar $1,000 lebih dari yang dibayarkan Sharp kepada Asian Trekking dan bergabung dengan tim yang dipimpin McGuiness. Namun Sharp menolak tawaran itu. "Ia menyebut sebagai tawaran yang murah hati," kata McGuiness,"Namun ia akan terikat dengan grup dan tidak akan mampu melakukan sesuatu dengan independen. Ia merasa cukup kuat untuk bisa mengatasi keadaaan di ketinggian."

Ketika Sharp tiba di Everest Base Camp, pemandangan disana mungkin tidak seperti digambarkan para pioneer Everest sebelumnya. Mendaki Everest dari dua sisi utara dan selatan kini mencapai ratusan pendaki pertahun. Berderet tenda dari beberapa ekspedisi terlihat di antara bebatuankelabu. Sebuah grup besar terdiri dari para pendaki, para guide, para sherpa dari  Himalaya Experience  atau Himex –sebuah perusahaan yang dikelola oleh Russel Brice dari New Zealand. Brice inilah yang akan memainkan peran penting dalam peristiwa yang terjadi seputar kematianDavid Sharp yang   membangkitkan perhatian kalangan pendaki di dunia.

Kalangan minoritas dunia mountaineering menyebut Brice sebagai pengguna kekuasaan dengan tak sehat, terkadang ditunjukkannya di base camp. Salah satu pendapat datang dari Steve Bell pemimpin perusahaan adventure tandingan Jagged Globe yang menyatakan Brice sebagai "seorang yang
professional yang membuat ia dihormati di kalangan para guide." Brice menyandang catatan yang mengesankan : 166 klien berhasil dibawanya mendaki Everest dan ia pula yang membawa turun mayat seorang snowboarding asal Italia dari sisi utara. Ia juga dikenal sebagai pemberi perintah utama di kalangan pendaki di Base Camp dengan menyuruh tim sherpa-nya memasang fixed-rope (tali tetap) di sepanjang rute. Bricememinta bayaran $100 per pendaki dari tim ekspedisi lain jika menggunakan tali yang dipasangnya itu. Sebagian besar membayar namun sebagian kecil yang mangkir disebutnya sebagai "pendaki murahan".

Disaat para pendaki menanti cuaca membaik, Sharp mengunjungi McGuiness di tendanya. "Ia terlihat relaks,"McGuiness mengingat. Sharp mendiskusikan pilihannya untuk mendaki tanpa oksigen. Walaupun sebelumnya ia kukuh berkeberatan memakai oksigen, namun ternyata ia telah membeli dua tabung silinder. Hanya saja masih belum pasti apakah menggunakannya atau tidak. Sharp juga menegaskan bahwa dengan kesibukankarirnya sebagai guru maka saat ini adalah upaya yang terakhir.

Jendela cuaca yang diharapkan Sharp dan para pendaki lainnya terjadi di pertengahan bulan Mei. Semua mata menatap pada tim Brice. Salah satu guide-nya Mark Woodward dari New Zealand yang telah menaklukan Everest dua kali mengatakan, "Ramalan cuaca kelihatannya mapan". Ia menambahkan, "Kami memutuskan mendaki lebih awal untuk mencoba ke puncak." Dua tim dari Himex terdiri dari  30 orang klien, guide dan sherpa mulai bergerak, sedang Brice sendiri menunggu di North Col di ketinggian 8,000m di tempat dimana ia bisa memonitor kemajuan tim.

"Ada pertanyaan iseng ke saya tentang apa sih yang dimaksud 'jendela cuaca' seperti yang diungkapkan seri sebelumnya. Ok karena saya menerjemahkan langsung dari "weather window" yang artinya kurang lebih yaitu periode dimana tidak ada angin kencang (jetwind) dengan angin yang bertiup rendah. Ini merupakan situasi sempurna untuk climbing dengan ketinggian diatas 8,000m. Sebagian besar kesuksesan yang diraih para pendaki Everest adalah dilakukan pada jendela cuaca yakni pendakian pada rentang waktu antara tgl 15 Mei hingga 8 Juni hingga menjelang datangnya Monsoon (angin kencang musiman) yang menerpa Himalaya (note : untuk Kachengjunga terjadi pada 6 Juni). Musim pendakian Everest ditetapkan pemerintah lokal berakhir pada tanggal 1 Juni."

Pada tanggal 13 Mei para pendaki mulai menapaki camp tertinggi di 8,400m. Sharp ikut bergabung dengan mereka, memasang tendanya yang mungil diantara bebatuan dan teras salju dibawah Northeast Ridge. Diatasnya adalah jalan mendaki sepanjang 1 mile (1.6km) menuju 8,850mpuncak. Yang paling mengesankan adalah pandangan dari Second Step yakni jajaran batuan yang harus didaki dengan bantuan tangga yang dipasang pertama kali oleh pendaki dari China di tahun1960an. Pemandangan disana bisa jadi cukup menakutkan ketika para pendaki harus mengabaikan jurang yang dalam hingga Rongbuk glasier sejauh dua mile (3.2km) kebawah. Dalam perhitungan normal, Sharp memperkirakan delapan jam untuk mencapai puncak dan empat jam kembali. Ia akhirnya memutuskan untuk membawa dua tabung oksigennya yang akan habis dalam 8 dan 12 jam.

**

Sharp meninggalkan camp sekitar pukul 11.30 malam hari di 13 Mei. Ini menjadi sebuah paradox dari kisahnya karena tidak ada satupun dari 30 orang di camp yang menyaksikan atau mengenali ketika ia mulai mendaki. Satu-satunya saksi yang melihat adalah Bill Crouse, seorang guide dari US yang bekerja untuk Himex. Sebenarnya Rouse tidak mengenal Sharp namun mengidentifikasinya setelah memberikan gambaran rinci. Crouse pertama kali melihat Sharp di Exit Cracks, titik dimana para pendaki mencapai cekungan Northeast Ridge sekitar pukul 2 pagi.

Ia bertemu kembali dengan Sharp untuk yang kedua kalinya pada 11.30pagi di bawah bentukan yang dikenal dengan Third Step. "Aku memintanya agak menepi karena ia menutupi rute ketika kami bergerak turun." Waktu yang ditunjukkan itu terbukti cukup penting. Ketika Crouse dan beberapa Himex klien turun setelah mencapai puncak, Sharp masih saja berusaha mendaki. Kemudian Crouse melihat Sharp bergerak dengan perlahan hingga tebing terakhir, yang sepertinya bisa diduga ia mencapai puncak sekitar pukul 2.30 siang pada tanggal 14 Mei.

Saat-saat ketika Sharp mencapai impiannya adalah saat yang paling ekstrem. Dengan perhitungan waktu normal ia sesungguhnya sangat terlambat. Brice menekankan bagi para kliennya yang masih berusaha mencapai puncak hingga pukul 8.00 pagi sebaiknya segera kembali. Setelah lebih dari 12 jam di atas gunung, persediaan oksigen akan segera habis. Seluruh energi akan terkuras menghadapi dinginnya udara dan ia akan mengalami dehidrasi. Sharp kini harus menempuh dua mile kembali ke Northeast Ridge, menuruni patahan berbahaya di Exit Crack untuk mencapai tendanya. Saat malam tiba sekitar pukul 6 petang akan membuat posisi makin sulit. Karena kecapaian ia kemudian mencapai cerukan dimana mayat pendaki India dengan sepatu boots hijau-nya terbaring abadi selama 10tahun. Di lokasi itulah yang terkenal dengan Green Boots Cave kisah drama ini akan berawal.

Beberapa jam setelah Sharp mencapai gua itu, para pendaki yang naik sehari kemudian (sekitar 40 orang) mulai beranjak. Sekitar tengah malam, dua orang pendaki dari Turki melewati gua tadi. Salah seorang mengingat bahwa Sharp sedang "duduk di depan gua disamping mayat pendaki India', terlihat sibuk dengan ranselnya. Seorang sherpa yang mendaki dengan orang Turki ini menyuruh Sharp untuk berdiri dan bergerak kembali, namun Sharp "melambaikan tangan untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja". Namun ketika grup orang Turki ini kembali melewati gua tadi, Sharp terlihat tidak bergerak sama sekali. Salah seorang anggota tim menyebut bahwa Sharp terbaring di samping mayat orang India itu dan mengira ia adalah juga `mayat'. Ketua tim pendaki Turki, Serhan Pocan juga meyakini bahwa Sharp sudah meninggal. Dua sherpa lainnya sepakat dan akan melakukan identifikasi begitu mereka turun ke bawah. "Kami yakni sepenuhnya bahwa ia sudah meninggal ketika kami bergerak ke atas."

Diantara para pendaki Himex terdapat beberapa perbedaan versi cerita. Seperti Max Chaya, pendaki dari Beirut mengatakan bahwa mereka tidak  melihat Sharp sama sekali. "Saat itu begitu gelap, hanya saya dan sherpa saya –ia tidak menggunakan headlamp sedang punya saya tidak terlalu terang. " Pendaki lainnya dari Australia Bob Killip mempercayai bahwa Sharp adalah pendaki India itu. "Saya melihat sebuah mayat dari belakang dengan tali yang masih ditangannya. Jadi saya hanya memberi kode dan berjalan melewati. Saya kira saya menyaksikan orang India itu. Ini adalah pengalaman yang cukup traumatis yakni berjalan melewati mayat. Saya hanya menunduk dan menyatakan hormat sembari terus berjalan."

Salah satu cerita yang cukup merisaukan datang dari guide asal New Zealand Mark Woodward yang memperkirakan ia bersama tiga orang pendaki dan beberapa sherpa melintasi Sharp sekitar pukul 1dini hari. Ia nampak "duduk diatas Green Boots," begitu Woodward mengingat. `memeluk kaki seperti posisi bayi di kandungan'. Hidungnya menghitam karena frostbite dan hanya mengenakan kaos tangan tipis dengan tanpa oksigen." Namun ia masih hidup. Ketika Woodward dengan pendaki dan kamerawan Mark Whetu yang saat itu sedang menfilmkan pendakian, berteriak memanggil Sharp. "Whetu seperti berteriak untuk `ayoh terus bergerak, ayoh terus bergerak' sedang Woodward menggunakan lampu untuk melihat mata Sharp. "Tidak ada sebuah kedipan matapun darinya." Karena itu mereka meneruskan langkah sembari membatin,"Oh sungguh malang nian nasibmu kawan," Lantas Woodward menambahan "Kami meyakini jikalau ia belum mati saat itu namun ia tak jauh dari saat-saat ajal. Kami semua melihatnya dan menyadari bahwa ia berada di ujung kematian."

Enam jam berlalu ketika suhu turun hingga sekitar -30C. Dari gambaran tentang kondisi Sharp sepertinya ia mengalami hypothermia dan hypoxia –atau kehausan akan oksigen juga kemungkinan mengalami penyakit ketinggian yang disebut oedema. Ini juga cukup menjelaskan pergantian kondisi yang dilihat para pendaki lain yang berpapasan dengannya. Kemungkinan pula bahwa ditengah hypothermia yang dialami Sharp, ia mengalami perubahan dari hypoxia. Berhasil sadar kembali hingga perutnya membeku seperti yang disaksikan beberapa pendaki berikutnya.
 
Sekitar pukul 7pagi, satu jam setelah sinar menerangi, sebuah grup dari pendaki Turki yang baru saja kembali dari puncak mencapai cekungan itu dalam perjalanan turun. Salah seorang diantaranya adalah Serhan Pocan yang sebelumnya telah meyakini bahwa Sharp telah meninggal. Pocan terhenyak ketika dilihatnya bahu Sharp bergerak. "Saya sungguh ketakutan,"begitu pengakuan Pocan sembari berusaha menolong Sharp. "Kami mencoba membuatnya berdiri dan mencoba memberinya minuman panas namun ia tidak mampu meminumnya. Hidungnya telah beku hingga bagian dalam tubuhnya. Tangannya mengeras seperti batu. Ia masih mampu membuka kelopak mata namun tidak bisa mengucap sepatah katapun. Pocan memerikas tabung oksigen dan menemukan dalam kondisi kosong. Saat itu Pocan mendaki bersama istrinya yang diduga juga mengalami penyakit ketinggian dan sedang dibantu turun oleh dua orang sherpa. Pocan melakukan dua kali kontak dengan radio : pertama dengan kawan pendakinya yang sedang menuruni puncak untuk mengawasi Sharp, kedua adalah tim ekspedisi lain yang mendaki puncak sehari sebelumnya. Dari sana kemudian berangkat empat orang sherpa yang diharapkan oleh Pocan untuk membantu istrinya dan juga Sharp. Namun para sherpa itu sangat kelelahan dari pendakian sebelumnya dan hanya mampu mencapai Top Camp.

Pendaki dari Lebanon Max Chaya adalah orang yang menemui Sharp berikutnya. Setelah melakukan pendakian dengan cepat ia berhasil mencapai puncak pada pukul 6pagi dan mencapai cekungan itu pukul 9.25pagi. Menurutnya posisi Sharp adalah, "terlihat sedang duduk dengan kaki yang terlipat. Tangannya seperti sedang memegang bola. Ia sedang memakai kaos tangan tipis warna biru dengan jari jemari yang terlipat dengan arah yang tidak semestinya. Jari-jarinya terlihat membeku, saya bisa melihat giginya karena mulut yang terbuka. Ia terlihat sangat tidak sadar," Chaya berusaha berbicara padanya."Aku kira ia tidak bisa mendengar apa yang aku coba katakan."

Dalam catatan waktu 9.30pagi, Chaya menghubungi Brice via radio di North Col untuk menanyakan apa yang harus ia perbuat selanjutnya. Brice menanyakan kondisi Sharp dan meminta diberikan deskripsi. "Aku memberitahukan bahwa David masih hidup namun tidak sadar. Bahu dan tangannya membeku hingga sebatas siku, kakinya membeku hingga lutut dan ia mengalami frosbite di bagian hidung, "Brice juga menyatakan kemudian dalam wawancara bulan Juni bahwa Sharp melepas sarung tangan luar dan membuka jaket –sebuah perilaku tidak rasional yang sering terjadi bila kita mengalami hypothermia.

Brice sendiri dalam posisi yang sulit karena ia barusaja menghabiskan satu jam untuk meminta dua klien yang mendaki dengan lambat dan mengalami frostbite untuk balik kanan. Mereka dibantu oleh para sherpa bersama dengan pendaki dengan dua kaki amputasi Mark Inglis yang dilaporkan mengalami frostbite di kedua pahanya. "Aku harus mengawasi dua orang klien dalam kondisi buruk untuk menuruni gunung," ujar Brice. "Aku harus terus menjaga klien ini dan aku tidak punya kemampuan ataupun botol oksigen atau apapun untuk membantu orang lain dalam waktu bersamaan seperti itu." Brice memerintahkan Chaya untuk terus bergerak turun. Mendengar perintah itu Chaya begitu terpukul –"Aku ingat saat itu aku menangis" –namun ia bisa memaklumi keputusan itu.

Sekitar 90 menit kemudian, tiba grup pendaki yang lain mencapai posisi Sharp. Salah satunya adalah seorang dari Australia bernama Bob Killip yang berhasil mencapai puncak pada pukul 7pagi. "Satu-satunya gerakan yang bisa aku lihat adalah di bahunya,"Killip berujar. Ia juga memperkirakan bahwa dirinya sendiri juga mengalami frostbite dan sempat mendengarkan percakapan radio antara Brice dan Chaya. "Jadi ketika aku berhadapan dengan David, aku mengira bahwa ia sudah tak mungkin tertolong lagi. Aku tidak menghubungi Russ untuk menanyakan proses deskripsi atas kondisi Sharp kembali. Aku merasa dalam posisi yang tak mungkin untuk menyelamatkan orang ini."

Waktu menunjukkan 11.45 pagi ketika seorang sherpa, Phurba mencapai Sharp. Bersama dengan sherpa lain dan seorang pendaki Turki yang sedang berusaha memperbaiki tabung oksigen. Phurba mengenakan helm dengan camera yang kemudian diketahui merekam Sharp bergumam lirih,"Nama saya David Sharp." Namun ketika tubuh Sharp berusaha ditegakkan -dengan harapan ia mungkin bisa dibantu untuk menuruni gunung; tubuh Sharp tetap saja terjatuh. Mark Woodward yang tiba 30 menit kemudian menemukan Sharp dalam posisi sejajar dengan rute turun. "Sangat tidak nyaman melihat kondisi David saat itu. Apalagi menyadari bahwa sebenarnya ia masih hidup, hanya ia memang tidak mampu lagi." Woodward sedang menolong klien Himex yang terluka meneruskan langkah menuruni Everest.

Sehari kemudian pada tanggal 16 Mei, para pendaki dari Korea melewati titik itu dalam upayanya menuju puncak. Seorang sherpa menghubungi kawannya yang berada di Himex tim."Ia mengkonfirmasi bahwa laki-laki itu masih berada di tempat yang sama seperti ketika Phurba meninggalkannya, dan juga menyatakan bahwa ia telah meninggal," begitu Brice melaporkan.

Di Base Camp muncul kekhawatiran yang menghantui para pendaki. Setelah memperhitungkan anggota tim-nya, Brice mencoba mencari tahu identitas pendaki yang meninggal itu. Dalam situasi tsb, Base Camp dipenuhi rumor bahwa pendaki itu berasal dari Eropa Timur. Ketika berada di tenda Asian Trekking, Brice menggambarkan ransel yang dikenakan Sharp. Seorang pendaki asal Amerika menkonfirmasi bahwa itu adalah milik Sharp. Tak seorangpun dari Asian Trekking tim yang bersedia mengabarkan kepada orangtua Sharp di Guisborough tentang musibah tersebut. Maka hanya Brice-lah yang harus melaksanakan tugas tersebut. Setelah memperkenalkan diri ia mengatakan pada kedua orangtua David bahwa, "Saya mempunyai kabar buruk tentang putra anda" 

Sampailah akhir cerita tentang meninggalnya David Sharp di Everest tahun ini. Seri ke 6 adalah merangkum perdebatan yang terjadi di dunia mountaineering baik online dan cetak. Perlu diketahui kasus David Sharp ini tidak akan pernah terungkap jika Mark Inglish pendaki berkaki palsu menyampaikan cerita pedih ini dalam sebuah wawancara.

Ada kontroversial terutama prinsip mendaki seorang diri. Apakah ia mendaki karena memang ingin sendiri atau karena ke-egoisannya untuk tidak ikut bertanggung jawab terhadap pendaki dalam grup. Para tokoh di kisah ini semoga bisa memberikan pelajaran berharga. Bahwa kegiatan adventure memerlukan pertanggungjawaban.

Salam,
Ambar

http://ambarbriastuti.blogspot.com

Perdebatan yang menyertai kematian Sharp berfokus pada Brice. Bisakah ia melakukan operasi penyelamatan disaat ia mengetahui kondisi Sharp? Hal ini juga sejalan dengan yang terjadi pada Lincoln Hall seorang New Zealand –yang juga bergabung dengan Asian Trekking yang ditinggalkan di Second Step pada tanggal 26 Mei. Sehari selanjutnya para pendaki menemukan ia dalam keadaan hidup dan setelah dilakukan operasi penyelamatan besar2an yang membutuhkan lima orang sherpa dan 50 botol oksigen akhirnya Hall berhasil dibawa turun dengan selamat.Namun ada dua perbedaan mendasar antara situasi Lincoln Hall dan David Sharp yakni saat itu suhu di malam hari lebih hangat 20C dan Hall masih bisa berjalan. Brice tetap bersikukuh bahwa ia dalam posisi yang sulit untuk memberi bantuan berdasar gambaran Max Chaya tentang Sharp yang sudah `nyaris meninggal'. Walaupun diakuinya cukup sulit membuat keputusan seperti itu.
Tapi dalam delapan hingga sembilan jam sebelumnya ketika para pendaki berjalan melewati tubuh Sharp menuju puncak, apakah ia masih bisa ditolong ? Ini yang agaknya menciptakan kontroversi karena Brice mengatakan bahwa jikalau ia mengetahui siapa Sharp maka ia mungkin akan melakukan upaya penyelamatan. Namun medan sangat sulit, terutama di Exit Cracks (seorang pendaki asal India meninggal jatuh di titik ini ketika menuruni patahan pada tanggal 14 Mei). Namun Brice memperkirakan mungkin kesempatan masih ada."Kami mempunyai sherpa yang masih kuat, guide dan klien serta beberapa tabung oksigen. Terlebih jika saat itu masih dalam masa awal musim pendakian, maka para pendaki bisa kembali kapan saja." Namun, ia menambahkan, sejak ia tidak mengetahui Sharp maka ia tidak mencoba menanyakan lebih lanjut.

Apa yang diutarakan Brice sebagai bagian dari tanggungjawab yang dikembalikan kepada para pendaki yang melewati Sharp malam itu. Telah menjadi `perjanjian umum' menurut McGuiness bahwa,"para pendaki terkadang begitu focus pada tujuan menuju puncak" sehingga mereka tidak memperhitungkan seorang pendaki yang kelelahan dan kemungkinan memerlukan pertolongan, McGuiness kembali mempertimbangkan tentang para pendaki dari Turki yang kurang berpengalaman dibanding guide dari Himex Mark Woodward atau pendaki kamerawan Mark Whetu.

Para pendaki Turki kemungkinan tidak menyadari bahwa Sharp sedang mengalami kesulitan atau mereka mengira ia telah meninggal. Seperti diketahui hanya Woodward-lah yang mengetahui bahwa Sharp dalam kesulitan namun ia sudah tak bisa ditolong lagi. "Hasil pengamatan lapangan memang rasanya kok begitu tega namun itulah yang terjadi ketika dihadapkan pada situasi yang sulit. Jika aku dihadapkan pada kondisi yang sama mungkin respon-ku juga sama. Jika Sharp lebih vokal dan tegas, para pendaki mungkin bisa segera berbuat sesuatu. Sharp tidak mampu memberitahu orang-orang sekitarnya hingga tak seorangpun tahu dengan siapa dia mendaki. Mencari informasi di sekitar atau di wilayah BaseCamp cukup memakan waktu. Hanya beberapa orang yang menyadari betapa ekstrem kehidupan di `death zone' dan tentang survival itu betul-betul seperti halnya meminjam waktu. Ibarat seorang yang terluka di medan pertempuran namun sangat jauh dari tenaga medis. Woodward menegaskan,"Itulah realitas yang harus dihadapi ketika berada di lingkungan Everest".

Kematian David Sharp juga membuka sebuah perdebatan di komunitas mountaineering. Disamping protes keras terhadap Brice, ia juga dikritik habis-habisan oleh banyak mountaineering websites tentang konflik antara pendaki "independent" dan ekspedisi komersial. Lainnya menuduh Brice memainkan peran sebagai Lord of Flies 2) yang memutuskan antara siapa yang hidup dan mati. Brice bersikeras bahwa ia tidak mampu menolong Sharp dengan menunjukkan catatan dramatisnya membawa setengah dosin mayat turun dari Mt Everest dengan sukarela. Ia juga menyebut bahwa para pendaki dari Asian Trekking tidak membayar penggunaan tali yang dipasangnya termasuk pendaki lain dari Brazil yang meninggal ketika turun dari puncak tak lama setelah kematian Sharp. Brice juga tengah mengusahakan melobi pemerintah Cina untuk menerapkan standar minimal bagi keselamatan para pendaki yang ingin menaklukan puncak dari sisi utara. Ia juga menambahkan jika Sharp saat itu membawa radio untuk melakukan komunikasi, "Kami mungkin masih mampu membawanya turun".

Perdebatan di dunia climbing juga terfokus pada David Sharp. Dalam dunia climbing terdapat dua ideologi yang terkadang tidak mudah digabungkan. Pertama adalah bahwa nasib merupakan tanggung jawab pribadi yang berada di tanganmu sendiri. Kedua adalah etika grup dimana kesetiaan dan saling membantu merupakan nilai yang saling tumpang tindih.

Barangsiapa yang memutuskan untuk mendaki seorang diri sesungguhnya menanggalkan haknya berdasar ideologi kedua sebagai bagian dari kebebasan yang diperoleh dari ideologi pertama. Sharp menunjukan perilaku ambiguitas terhadap resiko yang diambilnya. Ia mencoba meyakinkan pada ibunya bahwa di Everest ,"Kita tidak pernah sendirian –ada banyak pendaki disana". Ini juga menunjukkan titik balik dari pendapat yang diperdebatkan dengan McGuiness bahwa ia ingin bebas dari tanggung jawab terhadap pendaki yang lain. Mungkin inilah yang memotivasi usahanya yang terakhir –dengan memberikan pertanda awal kepada para pendaki Turki bahwa ia tidak membutuhkan bantuan mereka. Sebuah tindakan yang menunjukkan sikap egois –sikap yang telah ia tunjukkan sebelumnya.

Ambiguitas yang sama pula ditunjukkan ketika Sharp memutuskan untuk mencoba peruntungan mendaki puncak. Ketika ia mencapai Third Step, Sharp seharusnya bisa mengkalkulasi waktu seperti halnya mengerjakan matematika dasar. Ia telah berada pada ketinggian yang di sungguh luar jangkauan siapapun dalam sebuah wilayah yang tak bertuan. Sharp telah mendaki sekitar 12jam dan tidak bakal mampu mencapai puncak hingga tengah hari membuat ia dalam kondisi riskan dan berbahaya ketika turun.Ia kekurangan oksigen, dehidrasi, dan kelelahan yang amat sangat.

Namun satu hal bahwa mountaineering bukan sekedar matematika. Sharp pernah gagal dua kali dalam dua tahun dan terakhir bersumpah untuk tidak akan kembali lagi. Pioner Everest George Mallory -yang juga seorang guru mengalami kegagalan dua kali dalam dua tahun dan juga berikrar tidak akan kembali. Namun Mallory memutuskan kembali dan itu menjadi usahanya yang terakhir. Di tahun 1924 ia mendaki bersama partner-nya Sandy Irvine dengan mengabaikan semua perhitungan logis. Irvine tidak pernah terlihat kembali hingga mayatnya ditemukan tahun 1999 tak jauh dari mayat Sharp saat ini berada. Tentu saja David Sharp mengetahui cerita legenda Everest ini yang menjadi salah satu godaan bagi para pendaki dimanapun –sejalan dengan kesukaannya akan tantangan, keinginan untuk membuktikan diri, dan keputusan untuk melakukannya sendirian.

Brice bertemu dengan kedua orangtua Sharp di London pada bulan Juni lalu untuk mengembalikan barang-barang pribadi milik putra mereka. Sesuai dengan permintaan orangtua Sharp, Brice mendonasikan barang-barang lain kepada penduduk Tibet. Mereka juga berterimakasih kepada Brice karena, "tidak menempatkan orang lain dalam bahaya untuk menyelamatkan anaknya".

Kembali di Mt Everest dimana kini terbaring mayat Sharp tak jauh dari rute pendakian, bersebelahan dengan pendaki dari India dengan sepatu boots hijaunya. Jamie McGuiness yang melewati tempat itu beberapa hari setelah kematian Sharp mengenali Sharp dari baju dan rucksak-nya. "Aku mencoba menarik ransel yang menutupi muka sambil berharap untuk bisa melihatnya."McGuiness berkata. "Aku hanya menemukan salju disana. Aku menyapu sedikit salju dari mukanya namun kepala Sharp nampak tertekuk ke belakang. Aku tak ingin menggali salju lebih dalam lagi, jadi aku tinggalkan Sharp seperti apa adanya."

(selesai)

Catatan kakinya Ambar :

1. Crevasse adalah pecahan yang terjadi pada glasier atau padang salju yang terjadi karena kecepatan pergerakan glasier.
2. Lord of the Flies (1954) adalah novel terkenal dari peraih Nobel William Golding. Buku itu menceritakan sekumpulan anak-anak yang terdampar di sebuah pulau ; yang digambarkan mengalami perubahan dari sebuah kelompok yang beradab menjadi kelompok yang barbarian (primitif).

link:

http://en.wikipedia.org/wiki/David_Sharp

The picture of where David Sharp died on Everest 

 

This entry was posted in outdoor. Bookmark the permalink.

6 Responses to Mati Sendirian di Puncak Dunia

  1. abe says:

    Ya Allah.. Panjangnyah!
    Aku coba pastekan di Words untuk baca nanti-nanti, Makjang 15 lembar juga coy!

    Btw, TOP header image muh..
    Udah kek Soe Hok Gie ente Za! ^_^

  2. rizahnst says:

    😀

    masak seh sepanjang itu ? aku sendiri juga cuma copy paste dari milis mountaineering…

    itu pic waktu di puncak sinabung…
    naik gunung itu asyik lho…

  3. ambar says:

    ada versi pdfnya disini : http://ambarbriastuti.multiply.com/journal/item/86

    silakn di dunlud dan diprint ketimbang baca di komp

  4. riza says:

    thanks mba ambar udah mau terjemahin dan bagi bagi ama kita di milist 🙂

  5. nanik says:

    thanks y mbak. ini nanik

  6. Mario says:

    Hal ini sangat disayangkan para pendaki gunung ternama dari seluruh dunia seperti Thomas Sjogren, Lydia Bradey, Alan Hinkes, dan bahkan Sir Edmund Hillary.

    (http://faktatrivia.blogspot.com/2013/05/david-sharp-rip.html)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *