PERASAAN CAMPUR ADUK ARJUNO-(PONDOK) WELIRANG.

Cerita ini adalah berdasarkan pengalaman pribadi saya sewaktu ikut pendakian tahunan Highcamp 2008 ke Arjuno-Welirang di Jawa Timur.

Sudah jam 5 sore, perjalanan dari kantor saya ke senayan bisa sampai 2 jam, itu kalo lancar. Biasanya sih dari kantor sampai tempat nunggu Metro Mini P10 perlu waktu 15 menit, kemudian dari simpang hotel golden (gunung sahari) sampai halte sawah besar bisa 15 menit naik M12, kalo beruntung bisa sampai di antrian busway sekitar jam 17.30 maka sekitar jam 18.45 sudah nyampe halte gelora, itu kalo beruntung, biasanya sih ngga.Sampe senayan biasanya udah ada yang ngumpul, bang Maman S, bro Andi S, Mba Dewi S, terkadang bang Hendri dan yang lain juga, terutama bang Maman yang paling sering ketemu kerna pas saya baru nyampe dia udah selesai jogging. Biasanya sih saya titip tas di mereka. Mimpi buruk Pangrango yang lalu masih jelas di benak saya, banyak yang sarankan saya harus pake deker (knee atau tight support), tapi terus terang saja saya masih belum menemukan alasan yang kuat mengapa harus memakai deker, sampai akhirnya pada waktu pulang dari senayan bersama bang Tony P, ini sebelum tim Leuser berangkat beberapa waktu lalu, dia memberi penjelasan yang lebih masuk akal mengapa harus pakai deker dan mulai minggu depannya kemudian saya sudah menggunakan deker di lutut kiri sambil berlari di senayan, saya hanya bisa 2 kali putaran dalam, dengan keringat mengucur deras di wajah, mba Dewi S berkomentar "Ih.. baru sebentar keringatnya sudah banjir", menurutku sih tidak begitu buruk bagi pemula.
Minggu demi minggu berlalu dan saya mulai menganggap serius jogging di senayan, pada suatu waktu, salah seorang bapak yang kebetulan lagi jaga pintu toilet/ruang ganti nanya ke saya, "dapat berapa putaran?", "ah, cuma dapat 3 pak, capek kali", "putaran luar atau dalam?", "putaran dalam!", "kalau gitu sekitar 2,7 Km lah, kalau yang luar itu ukuran 1 km", "oh, gitu ya…, makasih ya pak" saya akhiri percakapan ringkas tersebut sambil memberi selembar uang ribuan. Minggu depannya saya sudah berlari di lintasan luar, sebanyak 3 kali putaran dan saya tidak berlari kecil, saya benar-benar berlari! Beberapa minggu yang lalu saya sudah dapat menambah jumlah putaran berlari.

Jadi knapa cerita berlari ini harus di bahas di sini, karena ini sesuai nasehat dari abang-abang saya di HC yang telah saya repotkan menunggu lama di warung mang Idi waktu yang lalu, mereka tentu saja tidak ingin mengalami hal seperti ini terjadi lagi, tidak ingin, saya menganggap serius hal ini! Mereka juga tidak mungkin menolak saya untuk ikut pendakian bersama mereka, jadi mereka memilih jalan yang lebih baik, mendukung saya meningkatkan daya tahan fisik sekalian memulihkan lutut kiri saya, mesti saya sampaikan di sini bahwa bang Maman S telah memberikan dukungan yang luar biasa bagi pemulihan saya. Terima kasih bang, latihannya membuahkan hasil yang bagus 🙂

Baiklah itu mengenang masa lalu, sekarang kembali ke masa kini, tidak terlalu kini, tepatnya beberapa hari yang lalu.

Pos Pendakian Purwosari, 30 Juli 2008

Semuanya telah selesai packing, tinggal saya sendiri masih sibuk dengan beberapa barang kecil yang harus diselipkan di sana-sini. Ketika semuanya telah memulai pendakian, saya masih juga sibuk dengan beberapa kantong plastik dan sambil mengisi polarpack dengan air aqua campur pocari sweat, pengalaman di pangrango kemarin pocari dapat menghilangkan dahaga sekaligus menambah cairan tubuh, sehingga tentu saja mempertahankan stamina ketika berkeringat. Tidak berapa lama rombongan om Daniz dan rekan dari Pendaki sampai di lokasi dengan menumpang pickup, kelihatannya tim dari Pendaki tidak sebanyak HC, mungkin beberapa belas orang saja.

Saat itu jarak saya dengan tim HC sudah 15 menit, karena tidak ingin tertinggal jauh, saya segera menyusul mereka dan tidak berapa lama berpapasan dengan porter yang selanjutnya saya sadari merupakan porter om Ryco serta porter tim potong bebek angsa. Baru berjalan beberapa belas menit segera saja keringat di wajah saya mengalir deras, beberapa teman yang berpapasan dengan saya segera saja mengenali gejala ini sambil berkata "wah keringatnya!", tim pangrango dulu pasti masih ingat bagaimana keringat di wajah saya. Sambil berjalan saya sadari beban saya ternyata tidak ringan, 3 botol besar air aqua dan polarpack 1,8 liter yang penuh air ditambah barang pribadi dan logistik.

Jalan berdebu tebal dan angin yang kencang, saya tidak menggunakan masker ataupun penutup hidung. Saya mulai berpapasan dengan pendaki yang lain, yang saya ingat adalah mba Nana dengan membawa tenda di belakang dan daypack kecil di depan sedang Om Fedy yang membawa ransel besar, pemandangan yang sangat kontras sekali, om Fedy kelihatannya cukup kesulitan dengan ranselnya.

Dalam suatu pendakian target saya adalah menjadi yang terdepan, saya tidak akan ikut pendakian hanya karena ingin bertamasya atau sekedar foto foto di alam terbuka, bagi saya pendakian adalah kompetisi ketahanan, kecepatan serta puncak. Dalam pendakian bersama HC ukurannya adalah tentu saja bang Hendri A, jika anda bisa tetap terus berada di belakangnya baik naik dan turun, maka anda lumayan HEBAT. Pada pendakian kali ini terjadi hal yang sama, bang Hendri selalu terdepan namun ada tambahan 3 orang pendaki lagi, pendaki muda dari Binus yang selalu mengiringi bang Hendri, 4 orang ini selalu berjalan paling depan, saya tidak ingat apakah om Zaidi atau om Ermil dan issa juga termasuk di dalamnya, sedang saya sendiri masih berjuang dengan keringat mengalir deras di wajah saya.

Tidak berapa lama saya berhasil berpapasan dengan tim depan, mereka memang sengaja berhenti di pintu rimba ini, kalau kita mengambil jalan ke kanan ada goa tempat orang biasa duduk-duduk di situ. Perjalanan dilanjutkan dan mulai terlihat mana tim depan, tim tengah, tim jalan sendirian dan tentu saja tim paling belakang (bang Heru), bang Asep kelihatannya berjuang dengan ransel baru yang sewaktu belinya beberapa waktu lalu kami saksikan di zephyr. Saya sendiri merupakan tim jalan sendirian, di tengah jalan saya sempat berpapasan dengan bro Woldy, dia juga berjuang. Saya dan bro Woldy berhenti sebentar sambil memasak air untuk buat susu milo, mba Nana dan tim melewati kami, begitu juga bang Asep, bro Ryco dan NayaMila sepertinya udah di depan. Hampir setengah jam saya berhenti di situ, bro Woldy udah lanjut dan hari sudah mulai sore, bang Heru melewati saya. Beberapa hari kemudian saya baru menyadari bahwa menjadi tim sweeper merupakan suatu tanggung jawab besar, menguras stamina dan konsentrasi bang Heru, namun pada saat ini hal itu belum kelihatan.

Saya melanjutkan perjalanan dan mulai menyusul yang lain, sempat berpapasan dengan mba Endah bersama anaknya dan teman lainnya yang berjalan beriringan, namun saya tidak bisa mengikuti ritme berjalan mereka dan terpaksa harus meninggalkan mereka. Hari mulai gelap, pada suatu pertigaan ada tim depan yang telah menunggu dan menginformasikan bahwa kami menginap di suatu pondokan untuk malam ini, di dekat pondokan ini juga ada tempat orang biasa duduk-duduk. Mungkin ada setengah jam kami istirahat, saya bahkan belum meletakkan ransel saya di dalam pondokan, namun mba Endah dan timnya serta bang Heru belum muncul juga, tidak heran karena di pertigaan tidak ada yang jaga dan perubahan jadwal tempat menginap ini belum di infokan bang Hendri kepada tim sweeper. Bang Hendri dan om Ryco mencoba menghubungi lewat HT, Mr Oblong dan saya berinisiatif mengejar mereka dan menurut info beberapa pendaki yang lagi istirahat di pertigaan tadi mba Enda dan bang Heru sudah lanjut ke depan.

Ternyata mba Endah dan tim lagi istirahat di Eyang saya lupa namanya, ini juga tempat orang biasa duduk-duduk dan bang Heru serta bro Woldy cukup jauh di depan. Mr Oblong dan mba Enda info ke saya kalo bang Heru sudah tau via HT dan sedang mengejar bro Woldy, saya memastikan dengan ikut naik ke atas, ketika berpapasan dengan bro Woldy yang lagi turun dia sempat bilang kalo dia mengejar saya tapi tidak dapat-dapat, tentu saja karena saya sudah belok duluan… hehehehe

Setelah makan malam diadakanlah rapat singkat membahas perjalanan besok, pastinya besok pagi perjalanan di mulai jam 5 pagi setelah sarapan, itu artinya paling tidak jam setengah 5 pagi harus sudah bangun, tidak lupa bawa persediaan air karena di Mangkuturama air kecil. Om Fedy memutuskan menyewa porter untuk ranselnya yang berat dan porter ini menjadi sisipan cerita tersendiri pada perjalanan esok hari.

Tidur di dalam pondok dengan beralaskan matras aluminium dan sleeping bag merupakan berkah tersendiri bagi kami malam itu, merupakan malam di mana saya bisa tidur paling nyenyak diantara 3 malam perjalanan Arjuno – (Pondok) Welirang.

Pondok Tempat Menginap, 31 Juli 2008

Sebenarnya jam setengah 5 saya sudah bangun karena orang-orang juga sudah pada sibuk packing dan sarapan. Sama seperti kemarin, pagi ini saya juga terlambat, ketika tim depan sudah berangkat sekitar jam 5 lewat, saya masih menikmati sarapan saya yang ternyata sambelnya enak, karena enaknya jadi nambah mie nya… hehehhe , jadi makin lama sarapannya dan bahkan terkesan santai. Saya tidak tau apa yang membuat saya merasa percaya diri untuk tidak buru-buru berangkat dengan resiko bakal ditinggal, selesai sarapan saya masih minum susu milo dan belum packing. Teman satu tim potong bebek angsa masih setia menunggu saya sekitar jam 6 kurang 15, namun mereka tidak bisa bertahan lagi karena saat itu saya belum lagi pakai sepatu. Sekitar jam 6 pagi saya selesai pakai sepatu dan bapak yang di warung bantu angkatkan ransel saya ke atas tempat duduk bambu di luar pondok, dia bilang "wah berat juga ya.. heheheh" sambil tertawa, saya ditanya kenapa belum berangkat? "Baru selesai makan koq langsung jalan", saya bilang begitu sambil tersenyum, si mbok yang ada di situ juga ikut tersenyum.

Jam 6 lewat saya siap berangkat, saya tidak melihat pendaki manapun saat itu termasuk bang Heru, jadi saya benar-benar berangkat sendiri dan paling belakang saat itu. Disamping ransel saya ada jerigen kosong warna putih, saya yakin ini ditinggalkan untuk saya bawa, setelah permisi dengan orang pondok saya pun melanjutkan perjalanan.

Saya berjalan sendirian sekitar 15 menit atau lebih sampai berhasil berpapasan dengan bro Ryco dan kemudian bang Heru, bang Asep, NayaMila dan tim mba Nana, saya masih menenteng jerigen kosong warna putih. Ritme perjalanan bersama yang tidak bisa saya ikuti memaksa saya melewati mereka, sampai di suatu lokasi terbuka yang panas namun dengan pemandangan indah yang langsung menghadap gunung Semeru yang ada debu vulkanik keluar dari puncaknya. Karena ini tempat yang sangat indah buat foto-foto maka saya harus berhenti di situ, biar di foto sama rekan tim potong bebek angsa bahkan oleh mba Nana. Bro Dipa dan temannya melewati saya yang lagi duduk saat itu. Mungkin ada 15 menit nungguin bro Ryco dan tim serta bang Heru, mba Nana dan Tim.

Mulai dari tempat ini lah tanjakan tanpa henti Arjuno di mulai, merupakan tempat yang dahsyat untuk foto-foto, setiap saat di tempat yang bagus anda pasti tidak ingin melewatkan foto-foto, tempat ini adalah tempat terbuka dengan kemiringan 45-50 derjat(?), saya tidak pasti, tapi lumayan miringlah, hampir tidak ada tempat datar. Di semak-semak tanjakan saya masih sempat mengisi polarpack yang telah kosong dengan air aqua dan pocari, setiap beberapa ratus langkah jalan ketika merasa haus saya langsung hisap dari selang yang tidak jauh posisinya dari mulut, benar-benar mengasikkan hingga saya lupa ini nanti akan jadi masalah!

Tidak berapa lama saya sampai di Eyang Semar, ini adalah tempat datar terbuka yang indah, maksudku BENAR-BENAR indah, merupakan tempat yang bagus sekali untuk duduk-duduk sambil menikmati cahaya mentari pagi. Saya minta bro Ryco foto saya di sini, bersama patung batu yang badannya di selimuti kain putih, saya sempat tanya ke bro Ryco, "ngga papa kan bro?", "ngga, baca bismillah aja" ujarnya pelan, seperti berbisik, saya hampir tidak mendengarnya, tapi kami sudah sama-sama mengerti. Saya ketemu bro Dipa dan temannya juga di sini, bro Dipa lagi ambil air kalo saya ngga salah.

Naik sebentar, foto-foto dan saya memanjat terus sampai ke atas, sampai di tempat yang ternyata ada candi di situ, namanya candi Mangkuturomo. Ternyata di tempat ini lah seharusnya kami menginap malam sebelumnya, tempat terbuka yang memang cocok sekali buat mendirikan tenda. Di sini saya melihat Vina dan om Bowo serta om Danis dan rekan dari Pendaki, diantaranya Susan. Tidak berapa lama tim potong bebek angsa, mba Nana dan bang Heru juga tiba, saya memutuskan nyantai dulu di pondokan bersama Pendaki. Bang Asep dan om Danis ketemu dan langsung ngomong bahasa yang saya tidak mengerti, saya lupa apakah Susan protes atau tidak mendengar bahasa mereka.. heheheh, yang pasti saya mulai mengeluarkan trangia dan memasak air untuk tentu saja segelas susu milo. Saat itu tim potong bebek angsa masih sempat berfoto di depan candi Mangkuturomo.

Semuanya telah berangkat, saya masih tinggal karena ternyata tiba-tiba perut mulas ingin mengeluarkan bebannya, saya minta izin ke bang Heru untuk BAB sebentar, ternyata tidak sebentar, mungkin 20 menit, bang Heru pasti bosan nungguinya. Selesai BAB saya melihat semua pendaki sudah berangkat, hanya tinggal bang Heru dan saya, kemudian ada yang menarik perhatian saya ketika empat orang naik ke pelataran candi kemudian duduk membentuk empat persegi kemudian diam seperti serius pada suatu hal tertentu, saya hanya menyaksikan dari dalam pondokan, tidak tau perasaan apa yang harus saya munculkan di dalam hati.

Saya lanjut diiringi bang Heru dari belakang, saya sempat melihat bang Heru agak kusut, seperti orang kurang tidur atau mungkin hanya perasaanku saja? Saya berjalan terus naik ke sepilar yang merupakan gerbang dengan candi di atasnya, vina dan om Bowo masih kelihatan, saya jalan terus kemudian melihat kebelakang dan bang Heru juga berhenti, dia duduk di tangga sepilar menyender membelakangi saya, saya masih mengamatinya dari atas, bang Heru menyenderkan kepalanya ke ranselnya dan terdiam seperti orang yang tertidur, saya tidak bisa melihat dari atas apakah matanya terpejam atau tidak, pada saat itu muncul perasaan bersalah karena telah merepotkan orang lain, sama seperti waktu Pangrango dulu, walaupun tidak separah dulu. Kemudian saya tinggalkan bang Heru yang lagi duduk terdiam, ini adalah awal perjalanan naik tanpa istirahat secara terus menerus, mungkin selama hampir 2 jam.

Perjalanan naik terus saya lakukan tanpa henti, mulai berpapasan dengan Pendaki yang telah duluan, melewati mba Endah yang tertidur di tengah jalan(?), terus naik melewati anak mba Endah dan mba Rere, tim potong bebek angsa, mba Nana dan tim, sampai ketemu tim mba Dwi yang lagi istirohat di Arca Dwi(?) (tempat datar yang ada prasastinya di tanah). Sekilas saya masih melihat ke atas ada 2 pendaki, saya tanya mba Suasti katanya itu si Aan, otakku bekerja keras, siapa si Aan ini, beberapa jam kemudian saya baru ingat Aan adalah pendaki Binus. Di sini saya sempatkan mengisi air ke polarpack, persediaan air saya tinggal 1 botol aqua besar lagi. Mba Dwi dan tim lanjut ke atas, tak lama mba Nana dan tim tiba di lokasi, beberapa menit kemudian saya memutuskan lanjut, kalo tidak salah sudah jam 11 siang lewat.

Tim mba Dwi bergerak cepat sekali, saya memerlukan waktu cukup lama agar bisa menyusul mereka, mba Dwi di temani bro SP, sedang mba Suasti jauh di depan. Saya lanjut terus dan akhirnya ketemu dengan om Ermil dan Issa, saya menyadari ternyata om Ermil dan issa juga bergerak cepat sekali. Namun issa tetap issa, seorang gadis kecil yang saat itu berada pada terjalnya tanjakan Arjuno, gadis kecil ini tidak banyak cakap, saya sudah coba menyapanya tapi kelihatannya saya tidak berhasil mendapatkan perhatiannya… heheheh… atau dia yang pemalu ya?

Lanjut lagi dan setelah banyak menghisap pocari dari selang polarpack dan menambah tebalnya debu di seluruh tubuh, akhirnya berpapasan juga dengan anak Binus, Aan, Noel dan Caca, benar-benar memiliki stamina dan ketahanan tubuh yang tinggi. Tidak berapa lama kemudian kelihatanlah sosok yang menjadi ukuran kecepatan dan ketahanan dalam kompetisi ini masih beberapa belas meter di atas saya, bang Hendri mengatakan sesuatu tentang jalan saya dan tentang jogging di Senayan, saya hanya tersenyum sambil memberikan jempol tangan kanan kepada bang Hendri.

Kami melanjutnya perjalanan untuk mencari tempat makan, bang Hendri udah mau berhenti sekitar jam 12 kurang seperempat, namun saya bersikeras kalau kita harus tepat waktu, sekitar jam 12 siang kita berhenti di tempat datar untuk makan siang, ternyata di depan masih ada om Zaidi dan om Porter yang bertelanjang kaki dan tidak menggunakan baju apapun, sekilas dari jarak beberapa meter saya melihat badannya tidak berkeringat. Om porter ini adalah porter om Fedy yang di sewa di pondok menginap sebelumnya. Bang Hendri makan siang Apple dan biskuit lembut, kata bang Hendri Apple nya sama dengan sepiring nasi, hehehehe… yang benar aja bang, kami berdua ketawa… om Zaidi nyender di pohon sambil mencoba menikmati makan siangnya.

Om Zaidi komplain bagaimana orang indonesia bisa makan mencampurkan nasi dengan mie?, ekspresi wajahnya memancarkan ketidak percayaan… Kami kemudian bercerita kesana-kemari mulai dari pendakian bang hendri di Jepang, cerita tentang turis jepang, wisata indonesia dan thailand, budaya dan perkawinan dalam adat melayu, padang dan batak, asal usul suku bangsa melayu, membahas masalah Aceh…bahkan kepercayaan beragama, mengingat kami bertiga berasal dari lokasi yang berdekatan percakapan ini jadi semakin asik dan nyambung, percakapan yang ringan dan lucu karena kami membahas tentang bahasa juga, tentang padanan kata bahasa Indonesia – Malaysia dan sebaliknya.

Tidak berapa lama Aan and Friends sampai dan langsung diarahkan untuk makan siang. Saya melihat kabut mulai naik dan bang Hendri mengatakan bahwa om Porter sedang melakukan ritual untuk mengusir kabut, pada saat itu Aan and Friends yg paling dekat dengan om Porter sedang kami berada sedikit di bawah. Saya tidak ambil pusing dengan segala macam ritual, saat itu saya berkonsentrasi dengan masakan mie instant yang kemudian dicampur nasi, om Zaidi menyaksikan sambil tidak percaya saya menyampur nasi ke mie instant, saya tidak tau di Malaysia bagaimana, yang pasti nasi campur mie instant rasanya enak koq, setelah itu masak air segelas untuk susu milo, persediaan air yang saya bawa sudah tidak lebih dari setengah botol lagi.

Sudah jam 13 dan bang Hendri memutuskan untuk lanjut, saya meneriakkan nama om ryco beberapa kali, saya memutuskan untuk menunggu tim potong bebek angsa di sini, mba Dwi dan tim tiba, tak lama mba Nana dan tim juga tiba, Aan dan Friends masih tetap tinggal dan mereka sepertinya saling berdebat tentang makanan(?). Lebih setengah jam saya menunggu tim potong bebek angsa di sini kepada yang lewat saya tanyakan apa melihat om ryco, mereka bilang jauh di belakang. Saya tidak bisa menunggu lebih lama lagi, berada pada ketinggian seperti itu tanpa melakukan apapun membuat tubuh saya segera menjadi dingin, saya lanjut!

Kembali lagi perjalanan tanpa istirahat tahap II di mulai, saya lupa berapa lama  waktu yang saya butuhkan untuk dapat bertemu bang Hendri, om Zaidi dan porter om Fedy lagi. Pada suatu lokasi, saya hanya berdua dengan bang Hendri, sedang om Zaidi dan om Porter sudah jauh di depan, kami duduk di batang kayu yang memang pas sekali untuk duduk sambil tetap menyandang ransel, saya bilang mau nunggu tim potong bebek angsa lagi di sini, saya juga melepas sepatu dan kaos kaki saya. Bang Hendri bilang ini sudah 2.900, sambil duduk ternyata bang Hendri tertidur, lucu juga ngelihatnya, kepalanya miring sambil duduk… heheheh. tak lama kemudian bang Hendri Lanjut, namun saya tetap menunggu. Satu persatu muncul mulai dari Aan dan Friends, mba Nana dan tim, mba Dwi dan tim, ada yang istirahat sebentar ada yang lanjut, oya nisa juga muncul… heheheh… saya tawarkan istirahat tapi dia menolak. Sudah hampir setengah jam dan jari kakiku yang telanjang mulai terasa dingin, tubuhku juga, jadi inilah waktu untuk lanjut!

PERASAAN CAMPUR ADUK ARJUNO-(PONDOK) WELIRANG bag 2

Nisa kelihatannya cukup terkuras staminanya, tak jauh dari tempat saya duduk sebelumnya masih kelihatan pendaki lain yang telah mendahului saya. Satu persatu langkah kaki ini saya arahkan menapaki tanjakan berdebu diantara semak belukar. Tidak berapa lama medan pendakian sudah mulai berbatu dan lebih enak untuk di daki. Menurut bang Hendri sebelumnya bahwa tidak lama lagi kami akan melewati jurang Mangu dan kemudian berjalan ke kiri untuk selanjutnya menuju puncak. Perlahan saya mulai berpapasan kembali dengan pendaki lainnya, mba Dwi tetap dengan metode menghitung beberapa puluh langkah kemudian berhenti dan seterusnya, katanya sih ini untuk menghemat lutut kanannya yang pernah cedera. Lutut kiriku sendiri sampai saat ini tidak pernah menampakkan gejala sakit lagi, tapi lutut kanan terkadang agak nyeri sedikit, tapi aku percaya dengan dekker yang aku pakai di kedua lutut.

Mungkin setelah perjalanan 15 menit, terdengar teriakan "Puncaaak", dan tak lama kemudian saya melihat tanda arah ke kiri yang bertuliskan Puncak Arjuna di paku di beberapa batang pohon cemara. Ternyata dari tempat itu harus melanjutkan perjalanan sampai 30 menit atau lebih dan berapa lama saya sudah mendengar suara orang tertawa-tawa, saya pikir, apa benar puncak sudah dekat?.

Suara orang bercakap-cakap semakin terasa dekat, akhirnya saya tiba. Yang pertama terlihat adalah bapak gondrong tanpa baju yaitu porternya om Fedy, kemudian teman-teman yang lain, Aan and Friends, mba Suwasti dan tim, saya lupa mba Nana apakah ada juga di situ, yang pasti tidak terlalu banyak pendaki yang sudah sampai mungkin kurang 10 orang. Saya katakan "wah kirain udah sampe puncak pada ketawa-ketawa", "belum, tuh puncaknya, bang Hendri lagi ke atas untuk lihat tempat ngecamp, kita nunggu di sini aja" salah seorang menjawab, mungkin Noel, saya lupa! Saat itu hari masih terang dan puncak sudah kelihatan, saya ngga mau menunggu untuk muncak sore itu juga, saya pilih lanjut ke puncak! "Bang Hendri ngga bawa ranselnya!" ujar salah seorang dari pendaki di situ. Saya pikir jika saya naik tanpa ransel ada untung dan ruginya, kalau di atas jadi tempat ngecamp maka saya gak perlu turun, ruginya kalo di atas gak jadi ngecamp maka saya harus turun lagi dengan ransel. Saya lanjutkan perjalan ke puncak sendirian dengan bawa ransel, tidak berapa lama sudah kelihatan bang Hendri di atas dan ternyata om Zaidi juga sudah di atas. Terdengar sayup-sayup bang Hendri teriak "Reza ngga ada tempat ngecamp, kamu turun!", "Aku mau ke puncak bang!" itu lah yang keluar sebagai teriakan balasanku. Saya terus naik dan naik, sampai akhirnya kelihatan dari atas bang Hendri dan om Zaidi turun dengan cepatnya, mungkin saat itu saya sudah setengah jalan karena belum sampai ke tanjakan yang berbatu. Saya terduduk membelakangi puncak gunung, inilah pertama kali saya kecewa dalam perjalanan ini karena tidak berhasil muncak walaupun sudah di depan mata, saya sebenarnya bisa melanjutkan perjalanan sendiri ke atas, tapi bukan pilihan yang baik, karena saat itu kami akan melanjutkan perjalanan ke tempat lain untuk ngecamp dan saya harus mendapatkan tempat yang baik untuk camp kami.Saya masih di atas ketika semuanya sudah mulai turun ke Lawang, saya memang tidak bisa turun dengan cepat, ini berhubungan langsung dengan kekuatan lutut saya yang kelihatannya harus di berikan latihan khusus untuk turun. Akhirnya dari rombongan itu saya lah yang terakhir sampai di Lawang, semuanya sudah mengambil tempat untuk ngecamp, tinggal saya mencari lokasi yang harus cukup untuk tenda tim kami yang menurut bro Ryco bisa untuk 5 orang. Jelas sekali tidak ada tempat yang tersisa selain tempat yang miring namun cukup luas di tempat saya meletakkan ransel. Saya coba jalan melihat ke bawah, memang ada tempat datar berumput tapi saya yakin tidak akan cukup apalagi di sampingnya langsung miring ke bawah yang tidak ada tempat datar lagi, saya kuatir kalau ngecamp di sini bisa jatuh ke bawah. Selain itu tidak ada tempat datar lagi, saya naik ke tempat semula, hari sudah mulai gelap dan tim potong bebek angsa juga belum sampai, saya sempatkan berganti pakaian di tenda mba Dwi dan kemudian menunggu tim di luar. Tidak berapa lama bro Dipa dan temannya sampai. Bang Hendri minta saya pindah ke bawah untuk memberikan tempat bagi bro Dipa di tempat saya duduk saat itu, saya tidak setuju, saya yakin hanya tempat yang saya duduki saat itu lah tempat yang tersisa untuk tim saya, tidak ada tempat cukup luas lagi yang tersisa. Bro Dipa kesulitan juga untuk menemukan tempat yang cocok tendanya, akhirnya harus memilih tempat di bawah yang berumput dan kelihatannya tidak rata. Saat duduk di atas matras dan berselimutkan sleeping bag saya segera menyadari tempat ini kemiringannya akan sulit dibuat untuk tempat bermalam, beberapa kali saya merosot sehingga tidak bisa duduk dengan tenang.

Hari sudah gelap dan yang lain sudah mulai memasak, saya menggigil duduk di luar menunggu, saya mencoba untuk berbaring namun selalu merosot, keadaannya sungguh tidak enak, ini akan menjadi malam yang panjang!

Akhirnya saya ditawari tumpangan di tenda tim mba Nana, cukup lama saya ada di dalam tenda sampai akhirnya ada informasi kalo tim sudah akan sampai, saya segera keluar dan membantu tim memberikan penerangan. Saya tidak mengerti knapa tim dan pendaki lain kelihatannya sulit untuk menemukan jalan ke bawah, padahal sewaktu hari masih terang jelas terlihat jalur jalan ke bawah. Saya meminta bang Hendri memandu mereka ke bawah. Ternyata porter tim masih ketinggalan di belakang, bro Ryco berinisiatif menyusul balik ke atas dan meminta saya memanaskan air untuk tim. Saya meminta tim yang tersisa yaitu bang Asep dan NayaMila untuk masuk ke tenda karena udara akan dingin.

Namun selanjutnya yang saya temui adalah tumpahan kekesalan yang tidak pada tempatnya, saya akui saya memang meninggalkan tim, saya memang bergerak lebih cepat dan hal ini bukan baru sekali ini terjadi dan bukan salah saya jika tim bergerak lambat. Sewaktu di Pangrango dulu saya juga meninggalkan bro Andi S, bro Ryco dan bang Asep juga hadir di Pangrango, namun bedanya saat itu saya yang membawa tenda dan ketika bro Andi S yang tertinggal jauh telah sampai di Mandalawangi tenda sudah berdiri. Keadaan saat di Lawang berbeda, saya tidak menyangka porter akan tertinggal jauh, secara keseluruhan kami menggunakan 2 orang porter, 1 porter pribadi bro Ryco dan 1 lagi porter tim. Tumpahan kekesalan tidak pada tempatnya ini merupakan kekecewaan tambahan bagi saya, namun saya terima saja, saya telan kekesalan dan omongan tidak pada tempatnya itu bulat-bulat, namun ini menjadi catatan tersendiri bagi saya. Selanjutnya adalah malam panjang yang ingin saya lupakan segera!

Lawang, 1 Agustus 2008.

Pagi hari yang tidak menyenangkan di Lawang juga merupakan cerita tersendiri yang sebaiknya saya lewatkan hingga saya mencapai puncak arjuno sekitar jam 10 pagi atau lebih. Bro Ryco dan bang Asep kelihatannya berjuang untuk mencapai puncak, ketika sebagian besar tim HC sudah lanjut turun menuju Pondok Welirang, saya masih menunggu 2 anggota tim sampai ke puncak, NayaMila sendiri sudah lebih dulu berangkat dari Lawang dan sudah lebih dulu sampai puncak di banding saya yang tetap terlambat berangkat dari Lawang.

Tim dari HC yang tersisa hanya bang Heru dan tim kami, ada juga om Bowo dan Vina. Kami berlindung di balik batu tempat meletakkan ransel sebelumnya, tim potong bebek angsa yang lain masih di atas puncak batu. Di sini om Bowo bercerita pada bang Heru tentang kejadian mulai dari kemarin siang hingga kejadian-kejadian malam harinya. Saya dan Vina hanya mendengarkan on Bowo curhat dengan bang Heru, sesekali Vina yang lagi asik dengan cermin dan pembersih wajahnya memotong pembicaraan om Bowo dan bang Heru, Vina kesal kerna om Bowo terkadang lebih mementingkan Tim HC, saya dan bang Heru hanya tersenyum-senyum saja.

Perjalanan ke Pondok Welirang dari puncak diawali dengan tanjakan-tanjakan dan teriknya matahari mulai membuat kepala saya jadi pusing. Bro Ryco mengingatkan kepada kami bahwa kita terus bersama hingga makan siang sekitar satu setengah jam ke depan. Sebelum berangkat om Bowo pesan kepada kami bahwa nanti ada persimpanan dua ke kiri dan kanan, jangan ambil yang kiri kerna itu mengarah ke puncak kembar, ambil yang kanan untuk lanjut ke lembah kijang. Kemudian bang Heru kontek bang Hendri untuk informasikan masalah persimpangan ini, saya tidak tau pasti kalau pesan dari bang Heru melalui HT diterima bang Hendri dengan baik.

Saya kembali tidak bisa mengikut ritme perjalanan tim, saya putuskan untuk melaju di depan sambil menunggu mereka di tempat rindang nanti di depan. Saya sudah melewati dataran yang ada susunan batu seperti 4 kuburan namun tidak menemukan jalan untuk lanjut, saya berputar-putar di situ sambil menunggu tim sampai. Ternyata jalannya di sebelah kiri yang ada batu agak besar, jalan ini tertutup rumput yang tinggi.

Tidak berapa lama kami sampai di tempat yang agak rindang, saya memasak mie instant di temani bang Asep, sementara bro Ryco dan bang Heru terkapar, tertidur. Mungkin ada 1 jam kami di sini, satu persatu rekan dari tim Pendaki melewati kami, yang terakhir adalah om Bowo dan vina, saat itu kami benar-benar paling belakang.

Tim masih istirahat ketika saya memutuskan untuk lanjut, dan dimulailah perjalanan turun sendirian, maksud saya benar-benar sendirian kerna saya lambat kalau turun dan tidak melihat siapapun di depan. Mungkin ada setengah jam saya berjuang untuk turun sampai akhirnya melihat Vina dan om Bowo, Vina kelihatan turun dengan hati-hati, mirip dengan saya! Saya sempat tanya om Bowo arah turun lewat mana, saya hanya ditunjuki arah tanpa sepatah kata dari om Bowo, saya tidak tau apa yang sedang terjadi, saya putuskan lanjut dengan hati-hati. Sekitar beberapa belas menit di tengah kesendirian saya menyempatkan melihat ke belakang, kelihatan om Bowo dibelakang dan mengarahkan saya bahwa saya sudah berada pada jalur yang benar.

Kecepatan saya saat turun benar-benar tidak dapat diandalkan, jari-jari kaki saya sudah mulai sakit-sakit, lutut kaki kanan terkadang nyeri tapi masih dalam batas kewajaran, tidak lama terdengar suara orang ngobrol dan mereka ternyata tim dari Pendaki yang telah melalui kami tadi, salah seorang adalah om Danis yang saya kenal di Pangrango sebelumnya. Selanjutnya saya berusaha mengimbangi perjalanan turun tim Pendaki, sungguh kontras dengan waktu naik pada hari sebelumnya.

Perjalanan turun memang merupakan kelemahan saya, tidak pernah bisa cepat dan selalu menimbulkan rasa sakit. Namun saya menyadari bahwa performa saya sudah lebih baik dibanding Pangrango yang lalu, setidaknya saya bisa turun tanpa ada gangguan di lutut, jadi tinggal menemukan cara untuk menambah kecepatan saja.

Beberapa jam saya lewati hingga akhirnya sampai juga di tempat pengambilan air di lembah Kijang. Saya sama sekali tidak menemukan satu orang pendaki dari Tim HC, yang ada hanya beberapa orang dari Tim Pendaki yang sudah bersih-bersih bahkan mandi di sini. Saya berpikir betapa cepatnya tim HC turun dan betapa lambatnya saya turun. Saya, om Danis dan Susan duduk sambil mengumpulkan tenaga yang masih tersedia, saya buka sepatu untuk membiarkan jar-jari kaki saya bisa bernafas sebentar. Di tengah perjalanan saya masih sempat mendengar bro Ryco memanggil nama saya, saya menjawab bahwa saya dengan tim Pendaki, hanya untuk memastikan bahwa saya tidak tersesat seperti bang Hendri dan om Zaidi.

Tidak berapa lama kelihatan om Bowo dan Vina turun, mereka langsung lanjut ke Pondok Welirang. Yang paling mengejutkan bagi saya adalah munculnya bang Hendri dan om Zaidi, saya heran apa yang terjadi? Ternyata mereka tersesat jauh hingga ke bawah, ini adalah salah satu sisipan cerita Arjuno-Welirang yang paling banyak diminati!

Selang beberapa puluh menit muncul NayaMila, bro Ryco, bang Heru dan bang Asep, istirahat sebentar dan kemudian kami lanjut ke Pondok Welirang. Hari sudah mulai gelap ketika kami menapaki jalan datar menurun dan menanjak ke Pondok Welirang. Menurut bro Ryco tenda sudah dipasang sama porter, ini kabar yang bagus. Perjalanan sumber air lembah Kijang ke Pondok Welirang kami tempuh sekitar 45 menit, sampai di lokasi ngecamp saya langsung istirahat sementara yang lain mulai memasak.

Ternyata sebagian pendaki yang telah sampai lebih dahulu langsung menuju puncak welirang, menurut mereka perjalanan bisa di capai sekitar 3 jam untuk naik dan satu setengah jam turun. Sebagian yang belum muncak mulai mengatur jadwal untuk muncak pada pagi dini hari. Saya berpikir apakah akan ikut muncak nanti malam? Di dalam kesendirian saya mengingat kembali kejadian di Pangrango, akhirnya setelah menimbang masak-masak saya memutuskan tidak akan muncak, ini adalah kekecewaan lagi dalam perjalanan ini. Pagi dini hari saya mendengar teman-teman sudah sibuk hendak naik, saya hanya membuka mata di dalam sleeping bag, mendengar kesibukan mereka untuk muncak sementara saya tetap berada dalam sleeping bag merupakan situasi yang mematahkan hati saya, tapi inilah hidup, saya harus tau batasan saya.

Pondok Welirang, 2 Agustus 2008.

Pagi hari di Pondok Welirang tidak ada yang istimewa, hanya kekecewaan di dalam hati karena tidak bisa muncak ke Welirang dan menyaksikan teman-teman yang baru saja turun. Saya menyibukkan diri dengan mencuci piring dan peralatan masak, namun telinga saya tetap mendengarkan cerita mereka yang baru turun, benar-benar saya kecewa!

Sekitar jam 9 lewat, kami berangkat dari lokasi, sebagian pendaki lain masih ada di Pondok Welirang, mungkin mereka berangkat lebih siang. Kami sendiri berangkat lebih pagi karena harus mengejar kereta berangkat dari Pasar Turi Surabaya jam 8 malam. Dalam hati saya berharap kedua kaki ini masih bisa menanggung beban turun yang pastinya bakal berat, menurut informasi perjalanan sampai tretes menempuh waktu 6 jam!

Baru berjalan sekitar 2 jam atau lebih saya sampai di pondokan besar yang disebut timbangan, karena saya lihat ada timbangan gantung untuk menimbang berat belerang yang akan di bawa ke bawah. Sudah banyak pendaki tim HC yang menunggu di sini, namun yang sedikit menarik perhatian saya adalah adanya mobil jip offroad yang standby di situ, saya mulai menduga bahwa kami akan turun dengan mobil ini dan benar saja. Tapi yang lebih mengejutkan adalah yang dapat naik ke mobil itu bisa sampai 15 orang bersama tas ransel! Saya tidak bisa terima kemungkinan ini dan ternyata om Zaidi juga, "Saya berpikir sama dengan kamu Riza" katanya, saya hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala tidak percaya.

Perjalanan turun dengan mobil jip ini merupakan bantuan yang sangat hebat bagi kami, perjalanan sekitar 4 jam dapat dihemat hingga 2 jam, hanya saja memang kami harus berdesakan di mobil jip terbuka ini. Saya dan bang Asep memilih untuk duduk di belakang sementara yang lain berdiri sambil berpegangan pada roll bar mobil! Tidak lama mobil berjalan terbukti pilihan kami merupakan pilihan yang paling nyaman…. hehehehe. Selanjutnya adalah perjalanan offroad yang sangat mendebarkan selama 2 jam perjalanan hingga di Tretes, puncaknya adalah ketika mobil hampir terbalik ke samping kanan ketika melewati tikungan menurun ke kiri, benar-benar nyaris, saya tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi, pasti akan menjadi tragedi!

Sampai di Tretes sudah tidak ada lagi cerita seru yang perlu di sampaikan. Kami istirahat, makan dan bersih-bersih, baru kemudian melanjutkan ke Surabaya untuk pulang ke Jakarta menggunakan kereta api Argo Bromo Anggrek!

Saya ingin menyampaikan terima kasih kepada teman-teman semuanya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu di sini. Saya akan kembali melatih fisik untuk pendakian berikutnya, bang Maman S sudah pernah ngomong ke saya kalau dia ingin ke Semeru tahun depan dan bang Hendri akan ke Mt. Cook di New Zealand. Semoga saja saya bisa mempersiapkan fisik dan dana untuk pendakian tersebut terutama untuk Mt. Cook kalau ada dana dan kalau bang Hendri mengizinkan ikut 🙂

Suatu saat saya akan kembali ke Welirang untuk menuntaskan urusan yang belum selesai!
Foto-foto lain saya letak di album http://pics.rizahnst.org/v/AW/

This entry was posted in my life, outdoor. Bookmark the permalink.

2 Responses to PERASAAN CAMPUR ADUK ARJUNO-(PONDOK) WELIRANG.

  1. ArieL, FX says:

    enak yah bang..

    hiking..

    ngiri..

  2. S. ABDUL MALIK says:

    mas tempatnya dimana kok kayaknya asyik ana mbok dikasih tau, ana kan juga senang tamasya ke alam bebas, intinya murah gitu lho!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *