Terjemahan oleh : Ambar Briastuti
Salam teman2,
Saya membaca artikel ini sekitar seminggu yang lalu di sebuah majalah mingguan di UK (terbit 24/09/06). Saya berpikir bahwa banyak sekali pesan moral dari cerita ini.
Ceritanya agak panjang tapi membahas tentang kontroversi kematian David Sharp di Everest tahun ini (May 2006). Di dunia mountaineering kematiannya begitu diperdebatkan karena sepertinya ia ditinggalkan begitu saja. Namun dari artikel ini akan digambarkan kondisi dalam pendakian yang terkadang harus membuat keputusan yang berat.
Mohon maaf kalau dalam kelanjutan artikel ini ada bagian-bagian yang kurang berkenan. Jadi kalau memang ngg tahan ya jangan dibaca deh…
Selamat baca.
Ambar
Mati Sendirian di Puncak Dunia
by Peter Gilman, The Sunday Times Magazine 24 Sept 2006
Seorang pendaki Inggris David Sharp mengalami kematian secara perlahan di atas Everest pada bulan Mei lalu. Ketika ia terbaring menuju maut, sekitar 40 orang pendaki berjalan melewatinya. Benarkah ambisi untuk menaklukan puncak dunia telah menghilangkan sisi kemanusiaan? Peter Gillman dari The Sunday Time Magazine mencoba investigasi.
Beberapa hari sebelum Natal tahun lalu, David Sharp mengirimkan email kepada kawan pendakinya di Kathmandu sembari berucap,"Aku merasa bodoh dengan mencoba mendaki Everest untuk terakhir kalinya." Kawannya itu, seorang dari New Zealand Jamie McGuiness pernah bersama dengan Sharp ketika ia gagal menaklukan Everest di tahun 2003. Sharp mengalami kegagalan kembali di tahun 2004 sembari bersumpah tidak akan mencoba lagi. Namun Mc Guiness tidak terkejut ketika Sharp menyatakan ingin kembali mencoba untuk ketiga kalinya: "David tahu ia bisa melakukannya, tapi ia harus bisa membuktikan." Kawan pendaki lainnya, Richard Dougan, mengatakan bahwa setiap kali menyebut Everest David "merasakan semangat itu di matanya."
Bagi Sharp melakukan tiga kali percobaan pendakian adalah gabungan dari dua hal yakni godaan yang besar dari gunung tertinggi di dunia juga sikap keras kepala yang ditunjukkan oleh Sharp sendiri tanpa memperhitungkan frosbite yang harus mengorbankan beberapa jari kaki di tahun 2003. Pada bulan Mei, Sharp yang berusia 34 tahun harus membayar dengan sangat mahal. Ia diketahui secara pasti berhasil mencapai puncak. Namun dalam perjalanan turun ia meninggal karena kedinginan, kecapaian dan kehabisan oksigen di sebuah tempat perlindungan batu disela sisi northeast gunung Everest.
Ada banyak kematian yang terjadi di Everest –hingga perhitungan akhir mencapai 200 orang namun kematian David Sharp adalah yang paling banyak menarik perhatian publik. Sekitar 40 orang pendaki yang mencoba mencapai puncak melalui sisi north side dari Everest pada hari itu melewati Sharp selama naik dan turun, berjalan menapaki rute tak jauh dari tubuhnya. Sebuah tempat yang tidak nyaman untuk mati, diterjang angin kencang dan udara dingin dengan view yang monumental dari sisi northwest. Peristiwa meninggalnya Sharp ini sungguh merisaukan banyak pihak. Para pendaki menggambarkan bagaimana tangan dan bahunya mengalami deformasi karena frostbite; bagaiman ia diminta beranjak dan ketidakmampuannya untuk berdiri hingga akhirnya ditinggalkan mati sendirian.
Kematian Sharp meninggalkan perdebatan yang tajam di dunia pendakian dan pers internasional. Pendaki legendaris seperti Sir Edmund Hillary mengeluhkan perilaku pendaki2 ini. Sekitar 40 orang pendaki dituduh telah menempatkan ambisi pribadi untuk menaklukan puncak gunung sebagai prioritas ketimbang menyelamatkan nyawa Sharp. Mereka ini adalah para pendaki dari negara seperti, Australia, New Zealand, Lebanon, Turki dan USA. Wawancara intensif dengan para pendaki itu ternyata memberikan gambaran peristiwa yang lebih kompleks dari sekedar tuduhan yang dialamatkan pada mereka.
Dari hiruk pikuk perdebatan ini hanya satu pihak yang tetap diam. Mereka adalah keluarga David –ayah ibunya yang berusia sekitar enampuluhan dan adik laki-lakinya bernama Paul yang bertindak sebagai juru bicara keluarga. Dari keterangan kawan-kawannya, David adalah sebuah karakter anak muda yang dekat dengan orangtua. Ia sangat suka tantangan baru dan juga seorang penyendiri yang percaya pada keputusan yang dibuatnya.
Namun ada beberapa kontradiksi pula pada dirinya. Sebagai seorang ilmuwan yang dianugerahi kemampuan analitis David membiarkan godaan untuk mendaki Everset kembali. Apakah ini bagian dari karakter seorang pendaki? Apa sih yang harus ditanyakan seorang pendaki pada dirinya sendiri? Untuk pertanyan-pertanyaan ini mungkin kita tambahkan satu lagi : apakah memang Sharp sudah dibutakan mata pada realitas sehingga mengambil resiko terlalu besar ?
Continue reading →